Menjelang peringatan kemerdekaan, sebuah bendera tak biasa terlihat berkibar di beberapa tempat. Latar hitam pekat dengan gambar tengkorak putih tersenyum, tulang menyilang di belakangnya, serta topi jerami kuning di atas kepala. Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar simbol dari cerita bajak laut dalam budaya pop. Tapi bagi yang peka, ini adalah pesan yang dalam.

Simbol ini dikenal dalam dunia fiksi sebagai Jolly Roger, bendera khas para bajak laut dari anime One Piece. Namun dalam konteks pengibaran terbaru, ia menjelma jadi lebih dari sekadar lambang petualangan. One Piece, dalam banyak kisah, merepresentasikan keberanian, perlawanan terhadap sistem yang menindas, solidaritas, kebebasan individu, serta tekad yang tak mudah dipatahkan.

Kini, makna filosofis itu hidup di dunia nyata. Pengibaran bendera ini bukanlah aksi iseng atau sekadar gaya. Ia lahir dari keresahan kolektif, dari suara masyarakat yang merasa tak lagi didengar dengan cara biasa. Mereka memilih simbol karena kata-kata sudah terlalu sering diabaikan.

Tengkorak bertopi jerami itu menjadi medium kritik. Ia bukan tanda penghinaan terhadap negara, melainkan bentuk cinta yang sudah lelah menunggu perubahan. Mereka yang mengibarkannya justru menunjukkan bahwa mereka masih peduli, masih berharap. Tapi harapan itu kini bersuara lewat lambang perlawanan.

Pemerintah dan para penyelenggara negara sebaiknya tidak terjebak pada simbol luarnya saja. Yang perlu direnungi adalah substansi di balik aksi ini. Ketika rakyat memilih menyampaikan pesan lewat representasi budaya pop, itu berarti saluran aspirasi formal sudah tidak lagi cukup.

Mengabaikan pesan ini hanya akan memperbesar jurang antara penguasa dan yang dikuasai. Sebaliknya, menangkap makna di balik bendera itu bisa membuka ruang dialog yang lebih jujur. Karena dalam banyak hal, kritik yang datang dengan simbol diam-diam lebih tajam daripada kritik yang disampaikan secara langsung.

Jolly Roger versi rakyat ini bukan ajakan memberontak. Ia adalah ajakan untuk mendengarkan.